Semilir angin pagi
menyejukkan jiwa. Gemericik air sungai mengalunkan nada-nada indah.
Diiringi dengan kicauan burung-burung di angkasa. Cahaya suci dari sang surya
melengkapi keindahan pagi di desaku. Sebut saja desa Pelem. Di sinilah aku
bersama keluargaku tinggal.
Di
desa ini pula aku mengukuir persahabatan bersama ketiga sahabatku. Mereka
adalah Ani, Linda dan Putri. Ani adalah si cewek cantik yang memiliki kulit
hitam manis. Dia adalah sahabatku yang paling tua. Dia sekarang duduk di bangku
SMA. Aku, Linda dan Putri biasa memenggilnya ”Mbak”. Sedangkan Linda adalah si
cewek genit yang selalu caper bila di depan cowok. Walaupun begitu aku tetap senang
berteman dengannya. Kalau yang satu ini, Putri adalah si cewek manis yang
pendiam. Tapi dia enjoy banget kalau diajak ngobrol. Diantara ketiga sahabatku
itu, aku paling sering mencurahkan isi hatiku kepada Putri dan aku paling
sering bersama Putri.
Walaupun
kami berbeda sekolah dan umur, kami selalu berusaha menjaga persahabatan kami
dengan sebaik – baiknya dan kami selalu berusaha untuk bertemu satu sama lain
setiap hari entah di manapun kami berada.
Ku
tatap langit di sebelah barat, tampak sang mentari menangis di balik bukit yang
dengan berat hati meninggalkan siang yang cerah dan seolah – olah dia berjanji akan
kembali mencerahkan semangat baruku di hari esok.
Inilah
waktu yang tepat untukku dan ketiga sahabatku berkumpul. Disaat langit gelap dengan
bintang – bintang yang berkilau menghiasi angkasa hitam, ketika aku hendak
bersiap mengaji, handphone di sakuku menggetarkan kakiku. Dengan penasaran dan
jantung yang dag, dig, dug ku ambil handphoneku dan kuangkat telponnya lalu aku
menyahut,
”
Iya , Mbak ! Aku ngaji. Ini mau berangkat.”, kataku membalik ucapan Ani yang
selalu dilontarkan kepadaku sebelum berangkat mengaji. Lalu ku tutup telponnya
dan aku segera melangkahkan kakiku menuju rumah Putri.
”
Thing, thung !”, suara bel rumah Putri berbunyi nyaring.
”
Ya, sebentar ! ”, jawab Putri.
”
Masuk dulu , Dik ? ” sapa Wanda, kakak Putri dengan nada halus dan sopan.
” Ya, terima kasih, Kak. Di sini
saja sambil nunggu Linda.”, jawabku dengan nada halus pula.
”
O... Ya sudah. Saya masuk dulu, mau solat maghrib ? , kata Wanda.
” Ya
silahkan.”, kataku.
Kebetulan
rumah Putri dan Linda memang berdekatan. Jadi mudah untukku menghampiri mereka
berdua. Tak lama kemuadian, terdengar suara yang mengagetkanku. Suara itu berasal
dari du asumber yang berbeda. ” Dag, dig, dug, dag, dig, dug !”, jantungku
semakin cepat berdetak. Darahku semakin deras mengalir. Keringat bercucuran
membasahi tubuhku. Untuk kedua kalinya ku dengar suara yang mengejutkanku.
”
Duoooorrrr ! ! ! ! ! ”
” Aaaaa
! ! ! ”, jeritku. Aku sungguh kaget
mendengar suara jail Putri dan Linda seakan – akan arwahku lepas dari ragaku.
”Dasar
kalian ! Ngagetin aja ! ”, kataku sebel.
” Kamu sih, HP mulu ! Liat tuh, sudah jam
berapa ! Telat nih kita! ” , kata Putri.
”
Kamu juga sih, dandan lama banget ! ” , jawabku tak mau kalah.
”
Hey ! ! Udah dong jangan berantem ! pusing nih ! !”, bentak Linda pada kami.
Wajah Linda yang merah penuh dengan emosi. Dan tiba- tiba Linda diam sejenak.
Air matanya berlinang di pipi seakan dia menglami musibah.
” Lin,
kenapa kamu ? ”, tanyaku.
”
Udah nggak papa?”, jawab Linda.
”
Lin, ceritain sama kita. Kita kan ingin tahu.” ,kataku.
”
Iya, Lin. Siapa tahu kami bisa bantu ?” ,
kata Putri.
”
Udah nggak papa kok. Yuk berangkat aja. Udah telat nih !” , kata Linda. Linda
mengeluarkan selembar tisu dari tas merah jambunya, dan dia segera mengusap air
matanya. Sampai di rumah Ani, Linda terus berjalan begitu saja tanpa
menghampiri Ani. Begitu pula Ani. Dia tak menyapa Linda atau bagaimana. Mereka
berdua saling cuek satu sama lain. Aku dan Putri sangat heran dengan tingkah
mereka di depan kami. Mereka yang biasanya lengket seperti surat dan perangko, tiba-tiba
saja tak bisa menyatu seperti air dan minyak.
”
Linda ! Tungguin Mbak dulu dong.” , kataku.
Namun Linda menaggapinya
dengan mata sinis dan mulut cemberut.
”
Ada apa sih , An ?” , tanyaku pada Ani.
”
Udah, nggak usah di bahas. Nggak penting ! ” jawab Ani sambil membalas sms yang
bertuliskan nama pacarnya.
” O
M G ! ! ! Mimpi apa mereka semalam?? ” , tanyaku pada Putri.
”
Udah deh. Nanti kita tanya mereka. ”,jawab Putri.
Sesampai
di madrasah, tempatku mengaji, Linda dan Ani masih menunjukkan tingkah laku
mereka yang membuatku semakin penasaran.
”
Lin, yuk ikut aku ke toilet ? ” , ajak Putri.
”
Ya, sebentar ! ” ,jawab Linda.
”
Eh, ikut dong? ”, kataku.
” Yuk
neng .. .. ” , kata Putri.
”
An, aku ke toilet dulu ya ? Ati-ati di sini, nanti ada momok..... hi......
hehehehe . . . .” , lawakku kepada Ani. Namun Ani hanya menanggapinya dengan
senyuman manisnya.
Ketika di toilet . . . . . . .
”
Cepet donk ,Put . Ustadz nya keburu
datang tuh. ” kata Linda.
”
Udah biarin. Sekarang jawab pertanyaan aku . ” , kata Putri.
”
Apaan sih , Put ? ”, tanya Linda pura-pura tidak tahu.
”
Tingkah kamu sama Ani kok kayak gitu?”, tanyaku.
”Dan
kenapa tadi kamu nangis ? ” , tanya Putri.
Tiba-tiba Linda memelukku dan air matanyapun berlinang
membasahi bajuku. Akhirnya diapun mau bercerita
kepadaku.
”
Jadi gini, tadi siang itu Ani ajak aku pergi ke Niama. Dia mau bertemu dengan pacarnya. Tapi aku
nggak mau, soalnya di rumah aku nggak ada motor. ” , sambil mengusap air
matanya dia bercerita.
”
lho, dia kan bisa berangkat dengan motornya sendiri? ”, tanyaku.
”
Iya dia memeng bisa tapi ban motornya bocor dan pacarnya tetep maksa Ani biar datyang ke Niama.
Terus Ani usulin supaya pinjam motor
kakak aku. Aku sudah bilang, jangan An. Tapi Ani nggak dengerin aku. Dia tetap
maksa. Dia bilang, udah tenang aja Cuma sebentar kok. Ya terpaksa aku ikut.” ,
jelas Linda.
”
Trus kamu tadi pulang jam berapa ? ”, tanya Putri.
”
Dari Niama aku pulang jam 16.00 sampai di rumah 16.15 .” , jawab Linda.
”
Emang kamu berankatnya jam berapa ? ” , tanyaku.
”
Jam 11.00 siang tadi.” , kata Linda.
” Ya
ampun lama banget? Sore banget kamu pulangnya
? Kamu nggak dimarahin ayahmu ?” , tanyaku.
”
Nggak cuma di marahin. Sandal
melayang ke mulutku ! Bayangin deh. Sakit banget aku ! “ , kata Linda
dengan mata yang berekaca-kaca.
”
Lin kamu kan bisa ajak Ani pulang awal? ” tanya Putri.
”
Sudah. Dia tuh nggak mau. Aku mau pulang sendiri nggak boleh, aku suruh
pacarnya antarin dia dia nggak mau , sebenarnya apa sih maunya ? Lebih parahnya
lagi aku di keluarga aku sudah di cap sebagai anak nakal.” , kata Linda.
”
Hah ? Sampai segitunya ? Ck,ck,ck.” , kataku.
” Besok aku mesti pindah ke rumah nenek aku.”,
kata Linda.
”
Terus kamu kalau mengaji gimana ? ” ,
tanya Putri.
” Ya
abis ashar aku ke sini.
Aku sebel sama Ani ! Gara-gara dia aku jadi
kayak gini ! Gara-gara dia persahabatan kita hancur ! Gara-gara dia . . . . . .
” , tiba-tiba ucapan Linda dihentikan oleh Putri.
”
Sssst ! Stop, stop ,Lin ! Lin, kamu nggak boleh terlalu nyalahin Ani. Kita
harus dengerin penjelasan langsung dari Ani.
”
Tapi dia emang benar-benar salah. Nyesel aku sahabatan sama dia. Kenapa sih
penyesalan selalu datang terakhir ? ” , sesal Linda.
”
Udah Lin , udah ! Sekarang kita tanyakan sama Ani. Kalau memang Ani yang salah
kamu harus ma’afin dia. Dan kalau kamu yang salah maka kamu yang harus minta
ma’af sama Abi. Aku nggak mau persahabatan kita hancur hanya gara-gara masalah
ini ! ” , kataku.
Kemudian
aku, Linda dan Putri kembali ke kelas. Di kelas
terlihat wajah Ani merah dan matanya berkaca-kaca.
”
An, kamu kenapa ? ”, tanyaku.
”
Ma’afin aku. Aku sudah dengar semua pembicaraan kalian di toilet. ” ,kata Ani.
”
Jadi kamu tahu kan permasalahannya ? ” , tanya Putri.
”
Ya, aku tahu. Aku sadar aku salah sama kamu, Lin. Aku egois banget. Ma’afin
aku. Aku nggak ingin persahabatan kita hancur hanya karena aku. Ku mohon, please
ma’afin aku, Lin ? ”, kata Ani.
”
Udah ma’afin aja, Lin . ” , kata Putri.
” Ya
, An. Udah aku ma’afin kok.” , jawab Linda.
”
Kita masih temenan kan ? ” , tanya Ani.
”
Yaiyalah ! ! ! ” , jawab Linda dan Putri kompak.
”
Nha gitu dong. ” , kataku.
Akhirnya
kami semua berteman kembali. Inilah idahnya persahabatan. Disaat ada masalah
kami selalu menyelesaikannya bersama-sama. Masalah besar harus kami anggap
masalah kecil dan masalah kecil kami. anggap tidak pernah ada. Inilah
persahabatan kami.
Karya : Dewiratri Nur’ilmi